SEJARAH EKONOMI INDONESIA
1.
Masa
Prakolonialisme ( Sebelum Tahun 1600 )
Dinamika perekonomian Indonesia pada
masa sebelum penjajahan dimulai dari jaman pra-sejarah sampai dengan masuknya
kolonialisme di Indonesia. Atas dasar hal itu, maka dinamika perekonomian
Indonesia sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia yang
diwujudkan melalui keberadaan kerajaan yang ada di nusantara. Posisi gografis
dimana pusat kerajaan berada beragam dan berakibat pada keragaman corak
aktivitas perekonomiannya.
Kerajaan Kutai terletak pada jalur
perdagangan dan pelayaran antara Barat dan Timur, maka aktivitas perdagangan
menjadi mata pencaharian utama, sehingga rakyat Kutai sudah mengenal
perdagangan internasional. Kerajaan Tarumanegara berada di daerah agraris
sehingga kehidupan perekonomian masyarakat Tarumanegara adalah pertanian dan
peternakan. Kerajaan Sriwijaya berada di pesisir utara Pulau Sumatera dan berada
pada urat nadi perdagangan di Asia Tenggara, sehingga masyarakat Sriwijaya
menguasai perdagangan.
Kerajaan Mataram berada bagian
tengah Pulau Jawa, posisi ini membuat masyarakat Mataram bertumpu pada sektor
pertanian. Kehidupan ekonomi masyarakat pada jaman Kerajaan Singasari berbasis
pada pertanian, pelayaran, dan perdagangan. Kerajaan Majapahit dekat dengan
pertanian, maka kehidupan ekonomi masyarakat Majapahit hidup dari pertanian dan
perdagangan.
Singkatnya, dalam masa sebelum
penjajahan, perekonomian Indonesia bertumpu pada sector pertanian dan
perdagangan.
2.
Masa penjajahan Belanda
Sistem ekonomi yang diterapkan
Indonesia selama penjajahan belanda dibagi jadi 3 bagian, yaitu :
a.
Sistem merkantilisme (VOC) 1600-1800
Adalah sistem ekonomi yang ditandai
dengan adanya campur tangan pemerintah secara ketat dan menyeluruh dalam
kehidupan perekonomian
untuk memupuk kekayaan sebanyak-banyakanya sebagai ukuran kekayaan, kesejahteraan
dan kekuasaan yang dimiliki Negara tersebut.
Belanda
melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk
menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi
perusahaan imperialis lain.
VOC diberi hak
Octrooi, yang antara lain meliputi :
- Hak mencetak uang
- Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
- Hak menyatakan perang dan damai
- Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
- Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Dalam hal ini VOC melakukan
penekanan terhadap peningkatan ekspor dan membatasi impor.
b.
Sistem Monopoli (Tanam Paksa) 1830-1870
Adalah sistem ekonomi yang
memusatkan kegiatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli
dibidang tertentu yang dapat merugikan rakyat. Tujuannya
adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran
dunia sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai
permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan
jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas
komoditi itu. Dengan
memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda,
dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Ditambah dengan diterapkan
Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. . Sejak saat
itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah,
yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini
jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi
dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem
ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung
tergantikan berkali lipat.
Dalam sistem ini masyarakat
diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke
gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah
ditentukan oleh pemerintah. Bagi masyarakat pribumi, ini tentu memeras
keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan.
Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman
komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya
ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi
pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap
barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga
merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari
meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
c.
Sistem ekonomi Kapitalis Liberal, 1870-1945
Adanya desakan
dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke
arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah
kebijakan ekonominya.
Sistem Ekonomi ini lebih rentan
terhadap krisis ekonomi tetapi produksi yang dibuat berdasarkan atas kebutuhan
masyarakat.
Pada akhirnya,
sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah
menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak
diperlakukan layak.
Sistem-sistem ekonomi ini meninggalkan
kemelaratan, namun disisi lain memberi pengetahuan tentang bercocok tanam,
sistem uang dan budaya industri. Pada masa itu, Indonesia adalah pengekspor
terbesar sejumlah komoditas primer. Pada dekade 1930an bank-bank bermunculan,
industri manufaktur berkembang pesat yang dimotori oleh industri gula. Pasar
modal muncul dan modal asing masuk dalam jumlah yang besar. Namun perkembangan
ekonomi yang pesat itu tidak memberi peningkatan kesejahteraan bagi rakyat.
3.
Era Pendudukan Jepang
Pada jaman pendudukan Jepang
kehidupan ekonomi rakyat sangat menderita. Lemahnya ekonomi rakyat berawal dari
sistem bumi hangus Hindia Belanda ketika mengalami kekalahan dari Jepang pada
bulan Maret 1942. Sejak itulah kehidupan ekonomi menjadi lumpuh dan keadaan
ekonomi berubah dari ekonomi rakyat menjadi ekonomi perang. Langkah pertama
yang dilakukan Jepang adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan,
alat-alat transportasi dan komunikasi. Selanjutnya Jepang menyita seluruh
kekayaan musuh dan dijadikan hak milik Jepang, seperti perkebunan-perkebunan,
bank-bank, pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, telekomunikasi dan lainlain.
Hal ini dilakukan karena pasukan Jepang dalam melakukan serangan ke luar
negaranya tidak membawa perbekalan makanan Kebijakan ekonomi pemerintah
pendudukan Jepang diprioritaskan untuk kepentingan perang. Perkebunan kopi, teh
dan tembakau yang dianggap sebagai barang kenikmatan dan kurang bermanfaat bagi
kepentingan perang diganti dengan tanaman penghasil bahan makanan dana tanaman
jarak untuk pelumas.
Pola ekonomi perang yang
dilancarakan oleh Tokyo dilaksanakan secara konsekuen dalam wilayah yang
diduduki oleh angkatan perangnya. Setiap lingkungan daerah harus melaksanakan
autarki (berdiri di atas kaki sendiri), yang disesuaikan dengan situasi perang.
Jawa dibagi atas 17 lingkungan autarki, Sumatra atas 3 lingkungan dan daerah
Minseifu (daerah yang diperintah Angkatan Laut Jepang) dibagi atas 3 lingkungan
autarki. Karena dengan sistem desentralisasi maka Jawa merupakan bagian
daripada “Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”
mempunyai dua tugas, yakni:
-
memenuhi
kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan,
-
mengusahakan
produksi barang- barang untuk kepentingan perang.
Seluruh kekayaan alam Indonesia
dimanfaatkan Jepang untuk biaya perang. Bahan makanan dihimpun dari rakyat
untuk persediaan prajurit Jepang seharihari, bahkan juga untuk keperluan perang
jangka panjang. Beberapa tindakan Jepang dalam memeras sumber daya alam dengan
cara-cara berikut ini :
- Petani wajib menyetorkan hasil panen berupa padi dan jagung untuk keperluan konsumsi militer Jepang. Hal ini mengakibatkan rakyat menderita kelaparan.
- Penebangan hutan secara besar-besaran untuk keperluan industri alat-alat perang, misalnya kayu jati untuk membuat tangkai senjata. Pemusnahan hutan ini mengakibatkan banjir dan erosi yang sangat merugikan para petani. Di samping itu erosi dapat mengurangi kesuburan tanah.
- Perkebunan-perkebunan yang tidak ada kaitannya dengan keperluan perang dimusnahkan, misalnya perkebunan tembakau di Sumatera. Selanjutnya petani diwajibkan menanam pohon jarak karena biji jarak dijadikan minyak pelumas mesin pesawat terbang. Akibatnya petani kehilangan lahan pertanian dan kehilangan waktu mengerjakan sawah. Sedangkan untuk perkebunan-perkebunan kina, tebu, dan karet tidak dimusnahkan karena tanaman ini bermanfaat untuk kepentingan perang.
- Penyerahan ternak sapi, kerbau dan lain-lain bagi pemilik ternak. Kemudian ternak dipotong secara besar-besaran untuk keperluan konsumsi tentara Jepang. Hal ini mengakibatkan hewan-hewan berkurang padahal diperlukan untuk pertanian, yakni untuk membajak. Dengan dua tugas inilah maka serta kekayaan pulau Jawa menjadi korban dari sistem ekonomi perang pemerintah pendudukan Jepang.
Cara yang ditempuh untuk pengerahan
tenaga Romusha ini dengan bujukan, tetapi apabila tidak berhasil dengan cara
paksa. Untuk menarik simpati penduduk, Jepang mengatakan bahwa Romusha adalah
pahlawan pekerja yang dihormati atau prajurit ekonomi. Mereka digambarkan
sebagai orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan Perang
Asia Timur Raya. Sedangkan panitia pengerah Romusha disebut Romukyokai. Di
samping rakyat, bagi para pamong praja dan pegawai rendahan juga melakukan
kerja bakti sukarela yang disebut Kinrohoshi. Pemimpin-pemimpin Indonesia
membantu pemerintah Jepang dalam kegiatan Romusha ini. Bung Karno memberi
contoh berkinrohonsi (kerja bakti), Bung Hatta memimpin Badan Pembantu Prajurit
Pekerja atau Romusha. Ali Sastroamijoyo, S.H. mempelopori pembaktian
barang-barang perhiasan rakyat untuk membantu biaya perang Jepang.
Akibat dari Romusha ini jumlah pria
di kampung-kampung semakin menipis, banyak pekerjaan desa yang terbengkelai,
ribuan rakyat tidak kembali lagi ke kampungnya, karena mati atau dibunuh oleh
Jepang. Coba bandingkan dengan rodi pada jaman penjajahan Belanda! Untuk
mengawasi penduduk atas terlaksananya gerakan-gerakan Jepang maka dibentuklah
tonarigumi (rukun tetangga) sampai ke pelosok pelosok pedesaan. Dengan demikian
sumber daya manusia rakyat Indonesia khususnya di Jawa dimanfaatkan secara
kejam untuk kepentingan Jepang. Akibat dari tekanan politik, ekonomi, sosial
maupun kultural ini menjadikan mental bangsa Indonesia mengalami ketakutan dan
kecemasan.
4.
Cita-cita Ekonomi Merdeka
Bung Hatta pernah berkata, “dalam
suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya dan tanahnya subur,
semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia Merdeka tak ada
gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat. “Kemerdekaan nasional
tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk sebagai biduanda
dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung Hatta di New York, AS, tahun
1960)
Karena itu,
para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, kemudian merumuskan
apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis besar cita-cita
perekonomian Indonesia. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan
feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Artinya,
dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita tidak menghendaki
ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan kemakmuran
di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat. Tegasnya,
cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat.
Supaya
cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka
para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita:
Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama
bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.
Dalam pasal 33
UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama itu
bisa tercapai.
1) Adanya
keharusan bagi peran negara yang bersifat aktif dan efektif.
2) Adanya
keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomi terencana).
3) Adanya
penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem
ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme).
4) Adanya
penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi, termasuk pelibatan sektor
swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun, sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur), proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian ala pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu, pada masa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya, cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya, yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah, ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke negeri-negeri kapitalis maju. Ketimpangan ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik. Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara lain.
Namun, sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur), proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian ala pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu, pada masa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya, cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya, yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah, ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke negeri-negeri kapitalis maju. Ketimpangan ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik. Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara lain.
5.
Ekonomi
Indonesia setiap Periode Pemerintahan, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi
Pemerintahan
Orde Lama
Pada
tanggal 17 agustus 1945, indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun
demikian, tidak berarti Indonesia sudah bebas dari Belanda. Tetapi setelah
akhirnya pemerintah Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia. Sampai
tahun 1965, Indonesia gejolak politik di daalam negeri dan beberapa
pemberontakan di sejumlah daerah. Akibatnya, selama pemerintahan orde lama,
keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk. Seperti pertumbuhan ekonomi yang
menurun sejak tahun 1958 dan defisit anggaran pendapatan dan belanja
pemerintahan terus membesar dari tahun ke tahun.
Dapat
disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama
terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun
nonfisik selama pendudukan jepang. Dilihat dari aspek politiknya selama periode
orde lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami sistem politik yang
sangat demokratis yang menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional.
Pemerintahan
Orde Baru
Maret
1966, Indonesia dalam era Orde Baru perhatian pemerintahan lebih ditujukan pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial
tanah air. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana
pembaangunan 5 tahun secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat
dihargai oleh negara-negara barat. Tujuan jangka panjang dari pembangunan
ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar. Perubahan
ekonomi struktural juga sangat nyata selama masa Orde Baru dimana sektor
industri manufaktur meningkat setiap tahun.
Dan
kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun
ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut: kemampuan politik
yang kuat, stabilitas ekonomi dan politik, SDM yang lebih baik, sistem politik
ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat, dan dan kondisi ekonomi dan politik
dunia yang lebih baik. Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan
amat buruk, antara lain disebabkan oleh: Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan
karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu
itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku
di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
- Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
- Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi.
- Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
- Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi.
Pemerintahan
Transisi
Mei
1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan
yang hebat, hingga akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara asia
lainnya. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang pada bulan juli 1997. Sekitar
bulan September 1997, nilai tukar rupiah terus melemah, hingga pemerintah Orde
Baru mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek dan
membatasi anggaran belanja negara. Pada akhir Oktober 1997, lembaga keuangan
internasional memberikan paket bantuan keuangaannya pada Indonesia.
Pemerintahan
Reformasi
Awal
pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum
menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan Gusdur. Dalam hal ekonomi,
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Namun selama
pemerintahan Gusdur, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu hubungan pemerintah Indonesia di
bawah pimpinan Gusdur dengan IMF juga tidak baik. Ketidakstabilan politik dan
sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan
tingkat country risk Indonesia.
Makin
rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Seperti
pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi
yang negatif dan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis terhadap pergerakan nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS.
Pemerintahan
Gotong Royong
Pemerintahan
Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada
masa pemerintahan Gusdur. Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan
Megawati juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan Megawati disebabkan antara lain masih kurang berkembangnya
investor swasta, baik dalam negeri mauoun swasta.
Melihat
indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi perekonomian
Indonesia pada pemerintahan Megawati lebih baik. Namun tahun 1999 IHSG
cenderung menurun, ini disebabkan kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi
investor, kedua disebabkanoleh tingginya suku bunga deposito.
REFERENSI :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar